Who's View Me

Tuesday, September 12, 2017

Tak Selamanya Malaikat Bersayap

Jakarta, 13 September 2017
Sebuah cerita pendek dari tokoh yang buat saya menginspirasi

Matahari cerah menemani langkah awal petualanganku dengannya. Senyum nan berwibawa mengawali sapanya di pagi itu. Hari pertamaku bekerja di sini.

“Selamat pagi, Ibu,” begitu aku menyapa ramah.

“Ihh.. enggak usah panggil Ibu lagi. Panggil Mbak aja ya, biar enggak ketuaan,” balasnya diiringi tawa segar.



Sampai sekarang, hangatnya perjumpaan pertama itu tak lekang jua. Masih nyata terasa. Sang waktu, yang katanya bisa menghapus kenangan, tampaknya tak berkuasa mengikis memori. Aura keibuan, perempuan setengah baya itu, berhasil menghalau canggungku dihari pertama. Beliau bukan hanya atasanku dibagian Penunjang Penelitian, tapi juga jadi pandu dan suluhku. Wiwik Rositawati. 

Banyak nilai kehidupan yang memancar darinya. Tak perlu mendengar ceramahnya tentang kejujuran, lihat saja integritasnya. Tidak usah repot membicarakan kebaikannya, tengoklah luas dan lebar pengertiannya. Kasihnya tercurah seperti tiada habisnya. Hatinya lembut bagai kapas. Setitik noda kesombongan tak akan kau dapati dalamnya. Sikapnya yang tegas seolah pas jadi pembungkus mulianya karakternya. Hidupnya adalah teladannya. Satu dan utuh.

Mungkin orang mengira aku berlebihan dalam penilaian. Itu pun tak mengapa. Soalnya, tak ada satu pun yang bisa membantah rasa. Itu suara hati yang berbicara. Hanya aku yang dengar. Tiada yang lain.



Aku (kiri) dan Bunda Wiwik (Kanan)

Jadilah Penolong – Sebuah Nasihat yang Tak Terlupakan

“Rina, jadilah penolong bagi sesama.” Nasihat itu tak pernah hilang dari ingatan. Kata-kata itu terus terpatri di hati. Bahkan sampai saat ini, walau aku tidak lagi bekerja bersamanya. Momennya, kalau tak salah, ketika penilaian PMS pertamaku.

Bekerja dibagian Penunjang Penelitian, memang agak berbeda dengan yang lain. Kami adalah jembatan antara dokter dan perusahaan. Mereka adalah dokter yang sedang melanjutkan studi dan melakukan penelitian. Oleh karenanya, “jualan” kami adalah jasa.

Reagen adalah kebutuhan dominan para dokter itu. Pereaksi kimia yang digunakan untuk penelitian. Harganya mahal. Satu kit bisa sampai lima belas juta rupiah. Biaya yang besar dan peran pentingnya dalam laboratorium, membuat reaktan ini menjadi sentral.

Salah satu pelayanan kami adalah membantu penyediaan reagen bagi para dokter. Tugas ini tak semudah seperti kelihatannya. Urusan impor-ekspor dan segala birokrasinya tentu sangat menguras tenaga dan pikiran. Ini sering jadi kendala utama. Akibatnya, pesanan sering datang terlambat.

Dalam situasi inilah, para dokter sering panik. Tak jarang, kami sering jadi sasaran kemarahan mereka. Alhasil, sering juga semuanya ikut terbawa suasana.

Pada situasi inilah, Mbak Wiwik memainkan perannya. Beliau selalu memberi wejangan. “Pekerjaan kita itu berbeda dengan yang lain.” kalimatnya lembut mengalir. “Dokter yang mau penelitian pastinya sedang sekolah. Mereka pasti ingin hasil yang terbaik, sesuai dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli reagen.” sambungnya tenang. Dia berhenti sejenak. Dengan tatap lembutnya, “Di sini kita akan banyak menerima keluhan kalau tidak helpfull.” tandasnya.

Beliau selalu menganjurkan agar kami bisa menguasai diri. Kami dihimbaunya agar tidak putus akal kala para mitra dokter kalang-kabut. “Kadang mereka panik.” awal nasihatnya. “Namun, kita harus bisa jadi orang yang selalu menenangkan. Kita tidak boleh ikut panik ya.” Wejangan itu mengalir disertai senyum lembutnya. Sejuk terasa.

Dengan saran-sarannya, pekerjaan membantu penelitian dokter jadi penuh kesenangan. Ada kepuasan. Bahagia karena bisa membantu orang lain. Gembira rasanya menolong seseorang berhasil meraih gelar akademisi.

Aku bersyukur berjumpa dengan Mbak Wiwik. Beliau adalah sosok yang melakukan apa yang dikatakan. Dia selalu konsisten dengan ucapannya. Beliau gemar menolong. Banyak rekan kerja dan para dokter pun berpenilaian serupa tentangnya.


Dermawan Pujian

Ada cerita lain yang membekas hangat. Satu kali, aku disibukkan dengan data statistik. Tugasku, waktu itu, mendata hepatitis C tiap cabang di Indonesia. Kemudian mengolahnyadengan perangkat SPSS. “Hari-hari yang penuh warna dengan data.” kenangku.

Kemudian, Mbak Wiwik menyajikan hasil olahan data itu dalam rapat. Pesertanya adalah para dokter dan pemilik reagen di Indonesia. Kuakui, Beliau menyuguhkannya dengan baik.
Di hadapan para peserta rapat, Beliau mengatakan bahwa aku yang telah membantu mengolah datanya. Waktu itu aku masih anak baru. Tentunya, pujian itu langsung menambah semangat kerja berlipat ganda. Bahkan, berkali-kali aku dipujinya atas hasil kerjaku. Tak jarang pujian itu dilontarkan di hadapan para dokter peneliti. Sanjungan itu memompa gairah dan antusiasme kerjaku. Sungguh, beliau tidak pelit dalam pujian, khususnya kepada sub-ordinatnya.

Seorang Team Player

Beliau pun team player nan flamboyan. Kerjasama tim sangat diutamakan. Kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Dia selalu melatih kami untuk berkolaborasi; saling menutup celah dan kelemahan.

Suatu ketika, bagian kami diminta mengeluarkan sebuah hasil pemeriksaan. Tugas ini sebenarnya belum rutin dikerjakan di Prodia. Pemeriksaan itu dilakukan pada sebuah wet simpo. Peserta simposium diambil darah di pagi hari pertama. Keesokan harinya, hasil kemudian dibagikan.

Hari pertama simposium adalah Sabtu. Sampai siang, kami menunggu hasil tes dari PRN berupa print out dari alat. Selanjutnya, secara manual, kami memasukkan hasilnya ke bentuk hasil pasien.

Selama proses pengerjaan itu, Beliau ikut menemani kami. Partisipasinya aktif dalam memeriksa hasil. Dia ingin agar tidak terjadi kekeliruan. Bahkan, Beliau turun tangan dalam memasukkan hasil ke dalam amplop hasil. “Ini kerja tim, jadi kita harus sama-sama ambil bagian.” katanya.

Di saat lembur bersama, Beliau menyediakan pizza hut sebagai kudapan. Tindakan kecil itu menghalau rasa lelah. Aku pribadi merasa diperhatikan dengan baik. Rasa kompak, dalam tim kecil kami, kian erat terajut sempurna.

Satu pelajaran lain tentang bekerja tim. Tidak pernah diajarkannya agar kami egois. Ketika itu, kami terdiri dari 3 orang. Suatu kali, salah seorang dari kami cuti agak lama. Alasannya, kalau tak salah, untuk mengurus anggota keluarga yang sakit. Perlahan Mbak Wiwik memintaku mengambil alih tugas teman kami itu.

Mbak Wiwik yang mencontohkan. Sebagai atasan Beliau tahu detail pekerjaan anggota timnya. Beliau menyarankan, agar aku pun harus bisa semuanya. Tujuannya kalau satu rekan absen, aku bisa mengganti perannya. “Kita satu tim. Kita harus saling menolong dan mengisi.” begitu nasihatnya. Betapa mulia hatinya.



Bukan Atasan Biasa

Beliau teman makan siang yang mengasyikkan. Biasanya di momen ini, aku suka curhat. Cerita tentang apa saja, keluarga, pacar (suamiku sekarang), pekerjaan, pertemanan, tentang semuanya. Rasanya nyaman berbagi dengannya. Diajarkannya aku nilai kedewasaan dalam menyikapi semuanya.

Dia pun menjadi sosok ibu yang menjadi panutan. Itu diperankannya dalam bentuk perhatian pada anak dan keluarganya. Setiap istirahat siang, Beliau tidak pernah lupa menelepon anak buah hatinya. Dia selalu memberi perhatian, sekecil apa pun itu, ditengah kesibukannya.

Kelak, aku ingin seperti Beliau. Sosok ibu yang memberi perhatian kepada keluarga.


Tim Penunjang Penelitian yang terdiri dari 3 orang
Perempuan dengan Lautan Perhatian dan Toleransi

Mbak Wiwik sangat pengertian dan perhatian. Dia cerdas dalam menangkap situasi. Dia mengamati dengan baik setiap orang. Sehingga, tak jarang Beliau memberi “kelonggaran” pada rekan kerjanya.

Dari kecil, orang tuaku tidak membiasakan agar tidak masuk sekolah. Jika hanya flu atau demam, aku pasti tetap masuk. Hal itu terbawa sampai ke lingkungan kerja. Aku jarang sekali absen. Selagi aku masih sanggup, aku pasti akan tetap ke kantor.

Pernah sekali, aku terserang flu berat. Mbak Wiwik menganjurkan agar istirahat di rumah saja. “Agar cepat sembuh.” katanya.

Aku berpikir, “Jarang atasan menganjurkan anak buahnya tidak masuk!?” Namun ya, dia perhatian kepada sub-ordinatnya.

Kami memang berbeda agama. Aku Kristiani dan Beliau Muslim. Namun perbedaan itu tidak pernah jadi masalah buatnya. Setiap hari raya, Beliau selalu mengucapkan Selamat Natal atau Selamat Paskah. Aturan yang mengharamkan ucapan hari raya tidak berlaku buatnya. Beliau penuh kasih, toleransi, dan menjunjung tinggi nilai kebhinekaan.


Engkau adalah Bunda Malaikat Tak Bersayap

Seiring berjalannya waktu, panggilan Mbak berubah menjadi Bunda. Bunda Wiwik, begitu aku memanggilnya sekarang. Beliau memang layak jadi Bunda buatku. Bunda yang mengajari aku dalam berkarya. Bunda yang mendorong aku agar sekolah lagi. Bunda yang terus memotivasi, “Rina pasti bisa!”

Empat tahun kami bertualang bersama. Di akhir tahun keempat, Bunda pindah bagian. Sedih beraduk-campur dengan senang. Sedih karena tidak punya atasan seperti Bunda lagi. Tapi sekaligus senang karena Bunda mendapatkan promosi. Sesuatu yang pantas untuknya.

Di tengah adaptasinya di lingkungan baru, kami masih sering makan siang bersama. Dorongan semangatnya masih terus jadi “menu” utama. Rasa optimisme terus dipompanya. Dia pun masih tetap ringan tangan kala diperlukan.

Kini, aku pun berada di posisi yang baru. Seperti halnya Beliau, setahun kemudian aku mendapat promosi. Aku berdiskusi dengannya, apakah aku ambil kesempatan ini. Beliau berkata, “Diambil dong Rin! Ini kesempatan, Rina pasti bisa!” kata-kata tersebut memantapkan pilihanku.

Kini aku akan bekerja sebaik mungkin di posisi baru ini. Aku punya warisan pesan-pesan Bunda. Dengan bekal ini, aku akan berusaha memberi yang terbaik. Aku berjanji tak akan mencoreng arang di kening Bunda.

Kadang hati bertanya, “Sesempurna itukah kau, Bunda? Betulkah kau tak bernoda-cela?" Aku memaksakan diri untuk terus mengingat. “Apakah gerangan sifat jelekmu yang menjengkelkan?”

Lama aku bertanya pada diri sendiri, namun tak jua menemukan jawab. Ah, sudahlah. Lagian, tak selamanya malaikat bersayap.

Terima kasih Bunda Wiwik.




PS: Cerita ini aku ikutkan lomba di kantor mengenai tokoh yang menginspirasi namun belum menang. Tapi aku bangga pernah menulis ini :D

No comments:

Post a Comment