“Setiap orang membutuhkan orang lain untuk bertukar cerita. Tidak ada orang yang sanggup hidup sendiri”
Awalnya aku diminta membantu penelitian S3 salah seorang rekan kerjaku. Peranku adalah melayani subjek – subjek penelitiannya, yang akan
dijadikannya sebagai sampel penelitian. Subjeknya adalah orang yang sudah di judge menderita Diabetes,
dengan usia > 57 tahun, dan berjenis kelamin pria. Bisa dibayangkan yang datang adalah kebanyakan kakek-kakek :) . Peranku disana sederhana,
dimulai dari menyambut mereka, memberikan form kepada mereka untuk diisi
(inform concern dan kuesioner), menjelaskan pertanyaan dalam kuesioner yang
mungkin menurut bahasa awam tidak mudah dipahami, serta memberikan mereka
sarapan dan makan siang sesudah mereka diambil darah sebanyak 5 tabung.
“Mudah!!!” pikirku. dan “Pasti akan cepat beres!!!” pikirku lagi.
Hari Pertama:
Jumlah pasien penelitian hari ini ada 8 orang.
“Dengan mbak Rina?” tegur seorang bapak
“iya Pak, dengan bapak siapa ya? Boleh minta tolong ditulisi nama-nama Bapak?” *sambil tersenyum
manis*
“iya mbak, boleh” kata mereka serempak.
“silahkan duduk dulu ya Pak, sambil diisi kuesinernya ………..
(sambil menjelaskan)”
Kubagikan kertas-kertas dan pulpen kepada para bapak
itu. Kuamati wajah mereka satu persatu.
Tua, bersih, banyak kerutan, dan rrrr.. gendut. Hehehe.. Penderita diabetes sebetulnya harus menjaga pola makannya dengan baik dan untuk mencegah komplikasi ke penyakit lain, maka sangat disarankan agar tidak obesitas, sehingga pola makanlah yang diatur dengan ketat - disamping mengatur asupan gula tentunya. Aku termenung sambil menunggu mereka mengisi.
“Mbak, ini hiperlipidemia maksudnya apa ya?” tanya salah
seorang bapak membangunkan kebisuanku.
“oh.. itu artinya begini pak…….” Kucoba menjelaskan dengan bahasa awam yang
dipahami mereka.
“Mbak, kalau saya suka pusing kalo makannya ga teratur, itu
sering loh” mulai lah pertanyaan dan pernyataan yang tidak ada hubungannya
dengan kuesioner terucap dari bibir para Bapak itu. Aku menanggapinya dengan sabar.
"Mbak, kalau saya kalau puasa ga kuat loh mbak lama-lama.."
"Mbak, liat deh obat saya, saya minum ini loh teratur.."
"Mbak...." "Mbak..."
Kujawab dan kutanyai bapak-bapak itu dengan sabar. Dan yang tak terduga, mereka
aktif sekali bercerita. SEMUANYA. Karenanya, aku kewalahan hendak mendengarkan
cerita dari bapak yang mana dulu.
“Bapak masih kerja?” tanyaku.
“Oh nggak mbak, kegiatannya sekarang urus kesehatan sama
rajin olahraga aja mbak, obat juga diminum teratur, kan sudah tua mbak. Selebihnya tidur aja mbak di rumah..”
Oh.. batinku. Pantas saja mereka aktif sekali diajak bicara,
mereka rupanya sehari-hari hanya berada dalam lingkungan rumah. Mungkin saja
mereka kekurangan teman untuk bercerita. Semuanya mencoba menarik perhatianku
dengan bertanya mengenai istilah-istilah dan nama obat yang mereka tidak ketahui
namanya. Juga cerita mengenai kegiatan mereka sehari-hari dan aktivitas yang mereka sukai.
Benar memang, semakin tua, kelakuan orang memang cenderung
menjadi seperti anak-anak. Fase perkembangan menjadi seperti semula. Ingin didengar. Butuh didengar.
Salah satu cerita yang menarik perhatianku adalah ketika
bapak B, dengan semangat menceritakan kegiatannya memompa air, sebagai salah
satu olahraga wajibnya. Lalu menceritakan pengalamannya hipo dan hampir jatuh
di bus trans Jakarta, dan beruntung ada seorang penumpang yang memberikan
permen untuk menaikkan gula darahnya. “Jaman sekarang sulit menemukan orang
baik ya mbak” Aku bergidik dan terharu mendengarnya.
Kutanyakan kepada Bapak yang lain apakah penyakit diabetesnya merupakan keturunan dari
orangtua nya, si Bapak menjawab memang penyakitnya merupakan penyakit
keturunan. Lalu kutanyakan apakah anak Bapak tersebut sudah dicek atau belum kemungkinan terkena diabetes juga. Dia menceritakan silsilah keluarganya.
Panjang sekali ceritanya. Dan lagi-lagi, aku sabar mendengarnya. Sampai-sampai sang Bapak bercerita tentang anak perempuannya yang berumur 19 tahun yang meninggal
karena geger otak. Sungguh spontan keterbukaan Bapak itu. Sang bapak tampak tegar. Namun dari mimik matanya kulihat
kesedihannya. Bapak B tetap setia melanjutkan ceritanya dan bangga bahwa tidak
ada keturunannya yang menderita diabetes karena anaknya tinggal satu dari dua. Aku pun bangga akan ketegarannya menjalani kehidupannya - kehilangan anak.
Sungguh, ternyata ini bukan pekerjaan mudah. Pekerjaan yang awalnya kubatasi ruang lingkupnya, ternyata jadi sangat melebar dan meluas jika sudah
menyangkut hubungan antar sesama.
Akhirnya setelah kutemani sarapan, mereka pun harus
melanjutkan perjalanan ke RS. Siloam, Semanggi. Setelah kuantar ke tempat mobil
yang akan mengantar mereka, secercah senyum kulihat diwajah semua pasien.
Seolah senyum mereka berkata: Terimakasih telah mendengar ceritaku. Dan benar
saja dugaanku, masing-masing menjabat erat tanganku dan berkata terimakasih
atas waktuku. Senyum manis kembali kukembangkan untuk mengantar mereka.
Ternyata melihat mereka bahagia, aku pun menjadi sangat
bahagia akan pengalaman ini.
Hari Kedua:
Belajar dari pengalaman, hari kedua aku telah menjadi sangat
siap untuk mendengarkan celotehan mereka lagi. Kali ini dengan subyek atau pasien yang berbeda. Tetapi tetap dengan penderita Diabetes, laki-laki dan berusia lanjut. Dan benar saja, setelah berkenalan dan memberikan penjelasan singkat dengan ramahnya, satu-persatu
mulai menceritakan masalah mereka dan kegiatan kesukaan mereka. Salah seorang
yang menarik perhatianku adalah salah seorang bapak yang beberapa jari kakinya
telah diamputasi karena penyakit diabetes ini.
"Jari kaki saya udah ga ada loh mbak... udah diamputasi.. abis ga bisa sembuh.." kata Bapak itu.
Bergidik, takut, dan terharu, hanya itu yang bisa kulakukan.
Gaya bicara yang mantap dan kuat menyiratkan Bapak tabah dan tetap semangat menjalani hidupnya.
Belajar dari sang Bapak, aku menjadi lebih terbuka memandang kehidupan ini.
"We need each other! we can see ourselves objectively through the reflection of others......"
No comments:
Post a Comment